PERS mahasiswa (persma) pernah berjaya di republik ini Ia pernah menjadi “mesin pemompa” gerakan mahasiswa. Bahkan setali tiga uang, persma menjadi pola gerakan mahasiswa, selain gerakan secara massif. Pada awal berdiri Indonesia Merdeka, persma-pertama tahun 1920-an yang dipelopori Perhimpunan Indonesia di Belanda, media ditempatkan sebagai basis pembentuk opini public melalui pasokan informasi yang disajikannya.
Tetapi dalam konteks kampus maupun kehidupan mahasiswa terkini terancam mandul. Dimana gerakan mahasiswa saat ini mengalami penurunan sangat tajam, per kampus sebagai togak pergerakan mahasiswa pun ikut mlempem. Berbeda dengan kurun waktu 10 tahun lalu, persma kini tidak mempunyai konsolidasi nasional untuk membentuk character bulding dalam dunia pergerakan mahasiswa.
Persma saat ini terkesan sebagai komunitas yang nyentrik dan eksklusif. Hal ini sebagai batasan diri persma yang sejak dulu merupakan basis mahasiwa yang tingkat intelektualnya excellent perfeksionis di hadapan publik. Bahkan dalam lingkungan kampuspun, persma tak lagi memanfaatkan "bisa"-nya. Akibatnya, ia tak berbeda dari ular yang tak mampu mengigit musuhnya.
Hal ini bisa dilihat dari pemberitaan dan hasil penerbitan lembaga pers mahasiswa (LPM) di kampus. Ketajaman intelektual tak lagi dituangkan guna mengkritisi ketimpangan di lingkungan kampus. Mata pisau persma yang bernama kritisisme itu pun telah tumpul. Aneka persoalan kampus dibiarkan begitu saja. Mahasiswa lebih menuruti keinginan birokrasi kampus daripada menyuarakan hak - hak mahasiswa, yang samar - samar dirampas birokrat dengan berbagai kebijakannya di kampus.
Wartawan kampus malah kooperatif dengan kritik destruktif pejabat kampus, yang sering berpesan: "Mbok yang diberitakan itu yang baik baik saja. Yang buruk tidak usah ditulis...". Banyak kritik pedas yang masuk ketika isi penerbitan persma terlalu tajam menyerang birokrasi kampus. Katanya, persma tidak berimbang. Yang ditulis; cuma yang burukburuk saja,yang baik-baik tidak diperilihatkan.
Jika dicermati, sebenarnya posisi tawar (bargaining position) persma di kampus masih cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari adanya tawaran yang menginginkan pemberitaan “kesalihan kampus”. Sayangnya hal ini tidak dapat dimanfaatkan para pegiat LPM untuk mengkritisi birokrasi kampus.
Sikap kooperatif demkiaan memunculkan pemberitaan di luar kampus, meskipun membidik permasalahan internal kampus dengan porsi terbatas. Pola seperti ini mengakibatkan tingkat kedekatan (proximity) dan kebutuhan pembaca -kalangan mahasiswa- makin menjauh. Akhimya, muncul masalah krusial seperti yang dialami berbagai LPM di lndonesia saat ini. Berbagai penerbitan pers kampus, baik berbentuk tabloid, majalah, buletin, maupun jurnal, tidak mampu menarik minat pembaca dan mangkrak. Penerbitan ini tidak terdistrbusi dengan baik, dan akhirnya dijual kiloan kepada pembeli kertas bekas! Alangkah menyedihkan! LPM dibiayai melalui uang mahasiswa, tetapi produksinya malah tak diingini kalangan mahasiswa. Setidaknya dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan mahasiswa di kampus. (Suara Merdeka,19 Jan 2008)
Bagaimanakah dengan kehidupan pers yang ada di Ilmu Kelautan sendiri?? Tak ubahnya dengan ikan yang hidup tanpa air, terkapar lemas tak berdaya. Hal ini juga yang menjadikan aspirasi – aspirasi mahasiswa Ilmu Kelautan sendiri tak tersalurkan dengan jelas. Banyaknya timbul gab dalam tiap angkatan. Bahkan ketidak harmonisaan antara angkatan genap dan ganjil yang sangat kentara di antara kita. Kemajuan kampus kita sendiri di dukung dari kekompakan dari dalam mahasiswa sendiri. Kita mempunyai HMIK yang dengan siap menerima saran juga aspirasi tentang kampus kita.
Semoga dengan sedikit cuplikan dari tulisan ini dapat membuat kebangkitan kehidupan pers di Ilmu Kelautan UNDIP khususnya dan semua universitas di Indonesia. SELAMATKAN PERS MAHASISWA….!!!