FPIK Undip Segera Miliki Stasiun Bum

SEMARANG-Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip menargetkan dalam dua tahun ke depan bisa membangun  ground station (stasiun bumi), bekerja sama dengan Lembaga Eksplorasi Antariksa Jepang atau Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).

Lembaga Jepang yang serupa dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Indonesia ini sebenarnya sudah bekerja sama dengan LAPAN, terkait dengan data satelit untuk menyebarkan pengetahuan teknologi penginderaan jarak jauh serta pemanfaatan lain citra satelit.

Menurut Dekan FPIK Prof Dr Ir Johanes Hutabarat MSc mengungkapkan, rintisan kerja sama sebenarnya sudah dilakukan. Di mana Undip bisa mengakses berbagai software yang dimiliki JAXA bekerja sama dengan Remote Sensing Technology Center of Japan (RESTEC).

’’Segera setelah gedung Marine Science Laboratory selesai, kami akan mengupayakan untuk membuat stasiun bumi. Saat ini pembangunan gedung mencapai 20%. Selanjutnya kami berharap bisa menggandeng JAXA untuk seluruh perangkat stasiun bumi yang dibutuhkan,’’ jelas Prof Johannes, seusai mendengarkan paparan dari JAXA-RESTEC di kampus FPIK Undip Tembalang, Senin (18/10).

Gratis

Deputy Manager Application Promotion RESTEC Masatoshi Kamei menuturkan, secara internasional kerja sama aplikasi Advanced Land Observing Sattelite (ALOS) sudah dibangun dan selama ini bekerja sama dengan LAPAN. Pihak Jepang juga memberikan 200 area rekam di Indonesia yang bisa diakses secara gratis. Yakni tanpa harus membeli software yang harganya bisa mencapai Rp 26 juta untuk satu lokasi.

’’Banyak universitas yang bisa memanfaatkan data satelit tersebut, tetapi kebutuhannya berbeda-beda. Misalnya untuk kelautan, pertanian, atau kehutanan. Bahkan hal-hal seperti pencemaran minyak dan penurunan muka tanah. Aplikasi penginderaan jauh bisa diterapkan untuk menyelidiki fenomena global dan sumber daya bumi,’’ tutur Kamei.

Selain memantapkan kerja sama lebih intensif, dalam presentasi tersebut Kamei juga menjabarkan teknologi-teknologi terbaru penginderaan jauh yang terus berkembang pesat.

JAXA ke depan juga akan terus bersinergi dengan Undip, terutama kesempatan untuk pelatihan yang sudah diikuti lebih dari 400 peserta dari 55 negara di dunia.
Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Energi LPPM Undip Dr Ir Munasik MSc menambahkan, informasi dari satelit tersebut juga bisa memonitoring temperatur permukaan laut secara harian ataupun bulanan.

Keperluan dalam monitoring terjadinya coral bleaching menggunakan penginderaan jauh juga akan diterapkan untuk kawasan taman laut nasional di Indonesia.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geomatika, Fakultas Perikanan dan Kelautan Undip  Dr Agus Hartoko, sudah saatnya Undip menangkap peluang besar ini dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ditawarkan  JAXA.

FPIK akan berkonsentrasi pada pemanfaatan data Satelit ALOS untuk bidang  kajian pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Indonesia Belum Negara Maritim

Indonesia Belum Negara Maritim Oleh : Muhamad Karim

Diskusi di Sinar Harapan beberapa waktu lalu mengemuka pernyataan Prof Dr Hasyim Djalal bahwa Indonesia belum menjadi negara maritim, melainkan masih dalam proses menuju ke sana. Mengapa pernyataan itu mengemuka? Jawabnya, sederhana saja. Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan, yakni sumber daya alam (ikan, tambang), transportasi, pariwisata bahari, industri bioteknologi dan jasa kelautan. Dus, mengapa kita sekarang sudah berupaya menggerakkan ekonomi kelautan, tapi justru jalan di tempat? Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan ekonomi kelautan kita? Jawabnya adalah bagaimana menganalisisnya dalam kacamata antropologis, historis dan sosiologis.

Secara antropologis, ekonomi kelautan Indonesia berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sebagai bangsa pelaut. Berbagai literatur dan hasil kajian antropologis membuktikan bahwa manusia Indonesia sudah menjelajahi perairan Nusantara sampai ke Madagaskar di Afrika pada abad ke-7, masa kolonialisme abad 17-19 sampai menjelang Indonesia merdeka (baca: Antony Reid). Penggalian situs Delta Sungai Batanghari di Jambi membuktikan bahwa masyarakat pesisir di wilayah itu sudah menggerakkan aktivitas ekonomi pesisirnya dengan temuan alat tangkap ikan jenis bubu. Bahkan, di pelbagai pesisir pantai di Jawa dan Sumatera ditemukan situs perahu kuno, dan kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Banten.

Sebuah hasil riset juga membuktikan aktivitas bisnis teripang sudah berlangsung sejak abad 14 yang dilakukan orang-orang Sulawesi Selatan. Bahkan, mereka menangkap teripang sampai ke Australia dan seluruh perairan Nusantara. Salah satu situs lukisan Gua di Pulau Muna Sulawesi Tenggara menggambarkan manusia melakukan aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan perahu. Maknanya secara antropologi, manusia Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan sumber daya kelautan untuk mempertahankan kehidupannya.

“Dual Economic”
Secara historis-sosiologis membuktikan, perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Nusantara pada abad 15-19 menjadi penggerak utama perekonomian kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa-bangsa Eropa berupaya keras mencapai Nusantara demi menguasai perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau kecil di Maluku. Tidak berbeda dengan pulau lain di Nusantara. Produk unggulan lokal diperdagangkan secara global dengan basis kekuatannya ekonomi kelautan. Komoditas dari pantai barat dan pantai timur Sumatera adalah kapur barus, lada, kopi, dan karet. Dari Kalimantan diperdagangkan kayu dan hasil hutan lainnya. Komoditas Sulawesi berupa kayu hitam, kelapa, kapas dan ikan. Dari Nusa Tenggara kayu cendana.

Pilar ekonomi kelautan adalah komoditas unggulan lokal, perdagangan antarpulau, internasional serta kepelabuhan dengan basisnya kota pantai. Mencermati dinamika ekonomi Nusantara masa itu, sejatinya adalah sebuah model Dual Economic. Di level makro, komoditas perdagangan internasionalnya bersumber pada pertanian dan tanaman perkebunan di satu sisi. Tapi, di sisi lain sektor jasanya transportasi laut. Pada level mikro aktivitas subsistem masyarakatnya berbasiskan pertanian tanaman pangan dan perikanan.

Buktinya, masyarakat pulau-pulau kecil di Maluku pada masa lalu selain berprofesi sebagai petani pala dan cengkih, juga beraktivitas menangkap ikan dengan komoditas andalannya adalah teripang, jenis ikan pelagis segar maupun yang diolah (ikan kayu). Ini sudah membudaya dalam komunitas masyarakat pesisir di Indonesia baik yang bermukim di pulau-pulau kecil maupun pesisir. Tengoklah masyarakat Kepulauan Raja Ampat, selain berprofesi sebagai nelayan juga sebagai petani sagu maupun peramu yang diperoleh dari hutan. Makanya, di daerah ini ada tanah adat dan hutan adat. Tapi, ada juga wilayah laut yang dimiliki secara adat dengan model pengelolaan berbasiskan kearifan tradisional.

Sayangnya, sekarang pemerintah justru akan memprivatisasi wilayah laut dengan konsep Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) yang amat a-historis. Tidak pernah ada, dalam pengelolaan perairan laut di Nusantara, termasuk di masa kolonial pun, penguasaan laut Nusantara oleh pihak pemilik modal apalagi boleh dialihkan (transferability) dan diperjualbelikan. Sesuatu tanpa akar sejarah adalah “kesesatan”, dan melembagakannya bisa mengundang konflik.

Mengembalikan ”Khitah”
Secara sosio-antropologis, menggambarkan dinamika interaksi antara masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir lebih progresif dibandingkan pedalaman. Dinamika oseanografi perairan laut (gelombang laut, arus, upwilling, dan angin) cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya politik masyarakat Indonesia. Perilaku yang tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme lebih dominan berkembang dalam masyarakat pesisir.

Mereka memosisikan dinamika oseanografi sebagai bentuk tantangan yang membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerja sama antara sesama komunitas. Masyarakat pesisir memiliki interaksi yang tinggi - melalui pelayaran dan perdagangan - dengan komunitas internasional yang beragam entitas budaya, etnik, agama, dan ras. Akibatnya, mereka lebih berpandangan pluralistik ketimbang masyarakat pedalaman.

Sebagai masyarakat pelaut, nelayan, dan pedagang, masyarakat pesisir dalam berlayar, berdagang dan menangkap ikan mengutamakan sikap dan budaya keterbukaan, kerja sama, dan egalitarian. Berkembangnya sikap dan budaya ini karena selalu berhadapan dengan bahaya sewaktu-waktu yang bersumber dari alam maupun manusia (bajak laut). Perilaku yang berkembang dalam masyarakat pesisir mirip sistem nilai masyarakat demokrasi dalam negara modern.

Dekonstruksi antropologis, historis dan sosiologis tersebut di atas menggambarkan betapa pentingnya ekonomi kelautan yang dibangun secara dual economic. Pola ini tak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat, tapi juga kebudayaan dan sistem nilainya yang berkembang bahkan sampai kini. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka dan di era Orde Baru sampai reformasi kini, pola dual economic yang menopang ekonomi kelautan justru tergerus dari akarnya. Padahal, ia sudah menjadi bagian kebudayaan, dan sistem ekonomi (way of life) yang berkembang secara turun-temurun di bumi Nusantara ini.

Diperlukan rekonstruksi bangunan puing-puing dual economic berbasis kelautan sebagai alternatif membangun kekuatan ekonomi bangsa demi mewujudkan ”negara maritim”. Upaya ini membutuhkan dukungan politik yang kuat secara institusional dan struktural. Rekonstruksi ini sekaligus memetakan kekuatan dual economic Indonesia secara geografi dan geo-ekonomi dari wilayah barat sampai timur. Sudah pasti pula mengintegrasikan kekuatan ekonomi terestrial dalam bentuk basis komoditas perdagangan. Inilah kekuatan baru yang secara progresif mengembalikan ”khitah” Indonesia sebagai negara maritim.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Pengirim : Mukhtar, A.Pi, M.Si, Kepala Satker PSDKP Kendari
Email : mukhtar_api@yahoo.co.id
Blog :   http://mukhtar-api.blogspot.com

source: http://www.dkp.go.id/archives/c/30/765/indonesia-belum-negara-maritim/