M.Riza Damanik Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
|
|
|
|
|
Belum lama ini (10/06) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mengesahkan Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, atau disingkat UMKM. Setelah menjalani perdebatan yang cukup alot, akhirnya seluruh fraksi di DPR menyatakan setuju untuk mengesahkan UU tersebut—tepat berada ditengah situasi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Seolah menjadi jawaban atas keprihatinan yang melanda rakyat Indonesia pasca kenaikan BBM, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sandiaga S. Uno—yang baru saja digantikan oleh Erwin Aksa pun memberikan respon positif disahkannya UU UMKM. Bahkan, Adi Sasono Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) mendesak agar UU tersebut segera diimplementasikan, tanpa harus menunggu tanda-tangan presiden (Bisnis Indonesia , 11 Juni 2008). Satu dari enam pola kemitraan yang dianut dalam UU UMKM adalah Inti-Plasma, sedang lainnya berupa sub-kontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi keagenan, dan bentuk lain seperti bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan dan outsourcing. Penulis tertarik untuk memberikan pandangan terhadap UU UMKM, terkhusus pada praktik kemitraan Inti-Plasma yang terjadi selama ini di Indonesia . Retorika Demokrasi Bank Dunia (World Bank) sejak era 70-an telah mengintrodusir penggunaan pola kemitraan Inti-Plasma dalam program pertaniannya— terlebih sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden serta peraturan lainnya untuk melembagakan pertanian kontrak Inti-Plasma sebagai satu-satunya pola kerjasama yang diijinkan pemerintah untuk kegiatan agroproduksi komersial, termasuk tebu, tanaman perdagangan (seperti teh, kelapa sawit, dan kelapa), produksi susu, unggas dan telur, serta tambak udang. Ben White dalam publikasi penelitiannya yang diberi judul ”Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tingi Jawa Barat” menyebutkan bahwa secara teknis, petani kontrak sepenuhnya bergantung pada pihak Inti (perusahaan) untuk medapatkan seluruh sarana dan penentuan produksinya kecuali yang terkait dengan tenaga kerja. Sedang secara politis, pola Inti-Plasma digunakan untuk mengontrol daerah-daerah yang sensitif terhadap sejarah gerakan separatis (seperti Irian Barat dan Aceh) atau gerakan kaum kiri (seperti halnya dibanyak kawasan perkebunan). Ambil contoh Program Perkebunan Inti Rakyat Tanaman Perkebunan (PIR-BUN) dibawah naungan Perusahaan Perkebunan Negara PTP XI dan PTP XIII, tidak hanya sebagai bentuk kesungguhan pemerintah membenahi sektor perkebunan—meski sejak akhir 1960-an rehabilitasi perkebunan besar merupakan fokus dari intervensi pemerintah dengan dukungan pinjaman dari Bank Dunia—namun hal ini juga merupakan agenda pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan kontrol politik terhadap wilayah perkebunan yang sebelumnya merupakan basis Darul Islam dan juga tempat pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) serta Serikat Buruh Tani. Karena itu White lebih tertarik menyebut pertanian kontrak Inti-Plasma sebagai kebijakan ortodoks yang baru dari Bank Dunia, sekaligus sebagai retorika demokrasi. Siasat kemitraan Hal senada juga terjadi pada kegiatan pertambakan udang di Lampung. Sebut saja, PT.Dipasena Citra Darmaja (PT.DCD) yang dahulunya milik Sjamsul Nursalim. Sejak berdiri di akhir era 80-an di Propinsi Lampung, industri ini menerapkan pola Inti-Plasma yang tertuang dalam kontrak perjanjian kerjasama atau yang biasa disebut PKS. Dalam pandangan penulis, setidaknya terdapat tiga hal keuntungan yang diperoleh perusahaan selaku inti; sekaligus kerugian dipihak petambak udang sebagai plasma. Pertama, dalam hal peningkatan kapasitas permodalan. Adanya kewajiban setiap plasma untuk mengagunkan sertifikat tanah miliknya kepada Bank pemberi kredit untuk mendapatkan modal usaha, telah membuat perusahaan (inti) menjadi gemuk modal. Di tahap awal dana pinjaman tersebut diserap oleh pihak inti guna memulai pembangunan sarana-prasarana pendukung kegiatan pertambakan. Dengan kata lain, sejak awal pihak plasma telah menjadi motor kapital dari industeri tersebut. Kedua, dalam hal pengembangan unit usaha. Dengan kewajiban setiap plasma membeli seluruh sarana-prasarana usaha seperti pakan, bibit, pupuk, hingga jasa penyuluhan maupun unit rumah yang disediakan inti; maka dengan sendirinya inti telah memperluas kegiatan usahanya tidak hanya terbatas pada processing udang, namun juga sekaligus sebagai pengembang kolam tambak dan perumahan; penjual pakan, pupuk, dan bibit; hingga sebagai pusat jasa pendidikan dan pelatihan usaha. Bahkan bisnis “ikutan” ini jauh lebih menjanjikan, karena seluruh plasma adalah konsumen yang wajib membeli produk tersebut. Ketiga, mengurangi resiko usaha. Meski modal usaha—yang merupakan wujud dari pinjaman plasma ke Bank pemberi kredit—tidak berada dibawah kendali plasma dalam pengelolaannya, namun setiap plasma diwajibkan untuk membayar kewajiban yang ditimbulkan dari proses kredit tersebut kepada Bank melalui inti. Hal ini bisa menggambarkan, bahwa resiko kegagalan panen yang sangat mungkin terjadi dalam kegiatan pertambakan udang, bukan berada pada inti; atau bahkan tidak pula resiko tersebut dipegang oleh kedua pihak—inti dan plasma—secara seimbang; namun plasma-lah yang justeru menjadi perisai dari kemungkinan kerugian yang terjadi. Terakhir, keempat, kewajiban setiap plasma yang mengharuskan menjalankan usahanya sesuai dengan aturan main yang dikeluarkan oleh inti, telah membuat plasma yang seyogyanya sebagai pemilik usaha berubah menjadi pekerja aktif perusahaan; yang harus tunduk patuh dengan aturan inti. Identitas sebelumnya sebagai pemilik yang berdaulat, berubah menjadi buruh tambak. Membenahi pola kerjasama Siasat pola kemitraan yang telah memberikan posisi yang tidak seimbang antara pemegang kapital dan masyarakat sepatutnya tidak diteruskan oleh pengurus Negara kini. Pola kemitraan Inti-Plasma yang dipraktikkan dalam pengelolaan PTP XI dan PTP XIII di sektor perkebunan serta PT.Dipasena di sektor perikanan telah memberi pelajaran bahwa pola kemitraan Inti-Plasma tidak saja telah merugikan rakyat secara ekonomi; namun juga telah melanggengkan praktik perselingkuhan korporasi, dan serta memperluas pengaruh politik kekuasaan sebuah rezim. Dengan demikian, menegasikan pemenuhan akses permodalan dan pasar terhadap kegiatan usaha rakyat secara luas kepada sektor swasta—tanpa dibarengi perlindungan penuh pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat—pastilah tidak akan pernah berhasil sempurna. Pada akhirnya, kecerdasan pemimpin akan diukur dari sejauh mana dia mampu membawa “perahu” yang bernama Indonesia agar terhindar dari kesalahan langgam masa lalu yang telah merugikan rakyat, serta membayarnya dengan kebijakan yang memberikan perlindungan bagi mereka yang selama ini dirugikan.
M.Riza Damanik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar