Tiga Dosa Besar Departemen Kelautan dan Perikanan, Rezim SBY-JK

Siaran Pers
Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KP-NNI)
WALHI / Friends of the Earth Indonesia


Jakarta, 27 Maret 2008 – Rezim SBY-JK tegas menunjukkan ‘ketidakberpihakannya’ kepada nelayan Indonesia. Hal ini jelas terbaca dari tiga dosa besar yang terungkap: pertama, pemberlakuan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sejak 26 Juni 2007; kedua, kembali memberlakukan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (harimau/trawl) di perairan Kalimantan Timur bagian Utara melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06/MEN/2008; dan mengakomodir siasat pembangunan reklamasi pantai disejumlah propinsi di Indonesia.

“Itulah tiga dosa besar kepemimpinan SBY-JK. Sejak 2004 hingga kini, nelayan selalu dipinggirkan. Sinyalemen ini nampak dari direnggutnya mata penghidupan nelayan secara perlahan-lahan,” tegas Dedi Rahmanta dari Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KP-NNI) di Jakarta.

“Dengan diberlakukannya UU No. 27/2007, jelas bahwa rezim SBY-JK hendak melakukan perluasan daerah perampasan sumber daya alam laut Indonesia hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu, para pemodal diberi akses lewat HP-3 (Hak Penguasaan Perairan Pesisir). Dengan begitu, nelayan kecil makin terhimpit akses ekonominya dan terbuka peluang kehancuran ekologis,” tambah Dedi Rahmanta.

Belum lagi, upaya masif pemerintah untuk mereklamasi pantai, seperti di Jakarta, Sumatera Barat, Lampung, dan Kalimantan Timur. Di Teluk Jakarta, upaya pemerintah tersebut telah memarjinalkan dan menggusur masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta, yang notabene hanya untuk memenuhi kepentingan pemodal.

Dengan diberlakukannya UU No. 27/2007 ini, lebih kurang 297 kabupaten/kota pesisir terganggu mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilnya. “Mengingat besarnya peluang yang industri dan swasta untuk menguasai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, secara implisit dapat dipahami bahwa pemerintahan SBY-JK lewat HP-3 hendak menggusur nelayan dari ruang penghidupan dan wilayah tangkapnya,” jelas Dedi Rahmanta.

Tak hanya UU No. 27/2007, nelayan-nelayan di daerah juga tegas menolak diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06/MEN/2008. Bagi mereka, kebijakan ini berpotensi meningkatkan intensitas konflik hak kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam kelautan di wilayah pesisir dan pualu-pulau kecil. Bahkan, akan merusak lingkungan laut dan memiskinkan nelayan-nelayan kecil. “Keluarnya Permen tersebut menunjukkan pemerintah telah gagal mengatasi praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia, dengan melegalkan sebuah tindakan kejahatan perikanan” ujar Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI. Lebih dari itu, Riza mengungkapkan bahwa Permen ini akan mempercepat terjadinya krisis ikan Indonesia, bahkan dunia.

Publikasi terbaru WALHI menunjukkan, sebelum 2015, Indonesia akan memasuki krisis ikan nasional. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi ikan nasional, volume ekspor ikan nasional, dan volume tangkapan ikan secara ilegal diperairan Indonesia. Terlebih, praktek perikanan ilegal dan merusak lingkungan makin marak terjadi (Menjala Ikan Terakhir, WALHI, 2008).

Untuk itu, pemerintahan SBY-JK harus segera mencabut UU No. 27/2007, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06/MEN/2008, dan kebijakan nasional lainnya yang kontraproduktif bagi keberlanjutan sumber daya alam laut dan kelangsungan hidup nelayan tradisional Indonesia.

Satu upaya konkret adalah memenuhan hak-hak dasar bagi nelayan tradisional Indonesia dan pencabutan kebijakan-kebijakan anti-lingkungan hidup dan rakyat. “Seharusnya, pelajaran panjang sekaligus pahit dari kehancuran hutan Indonesia, dapat menjadi inspirasi untuk membenahi dan menghindari jejak kehancuran ekologis yang sama di sektor pesisir dan laut” tegas Riza Damanik.

Pada kesempatan lain, Sinung Karto dari Kontras menambahkan, “pemerintah hendaknya bijak dalam mebuat kebijakan. Apalagi jika kebijakan yang akan dikeluarkan berpotensi besar melahirkan kerusakan lingkungan, kekerasan, dan dampak buruk yang menjadi turunan lainnya.

“Bencana ekologis makin meluas, dan tidak sedikit telah menelan korban jiwa. Kondisi lingkungan hidup makin tak keruan. Adakah sedikit kepedulian rezim SBY-JK kepada nelayan tradisional Indonesia? Atau mereka dibiarkan kelaparan dan terus hidup dalam penderitaan hingga ajal tiba? Satu hal yang pasti, nelayan tradisional tak akan tinggal diam melihat tiga dosa besar rezim SBY-JK,” desak Dedi.

Kontak:
Dedi Rahmanta, Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KP-NNI): 0813.1491.9254
Sinung Karto, Kontras: 0856.1914.400
M. Riza Damanik, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI: 0818.773.515

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hi every person,

I identified hmikundip.blogspot.com after previous months and I'm very excited much to commence participating. I are basically lurking for the last month but figured I would be joining and sign up.

I am from Spain so please forgave my speaking english[url=http://nawhatweknow.info/].[/url][url=http://stlearnnewthings.info/].[/url][url=http://whatweknowna.info/].[/url]